Jakarta : Menyikapi kerja sama Pemprov DKI Jakarta dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dalam revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) dari pusat seni budaya menjadi daerah komersil, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan bahwa untuk masalah ini, suasana kebathinannya lebih dari sentimentil.
“Saya paham TIM. Bapak saya pernah jadi Direktur di TIM. Dan saya dibesarkan di TIM bersama seniman di jamannya Rendra, ibu saya juga sering bermain dengan Rendra,” ucapnya saat menerima Forum Seniman Peduli TIM dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin (17/2/2020).
Sebagai seorang legislator, Dede berpendapat, dirinya harus melihat dari sisi kenegaraannya. Ketika saya bertugas di Jawa Barat, justru lahan-lahan berkesenian itu harus diproteksi. Kenapa? Karena itu, menurutnya, sebagai bagian dari gerakan melestarikan budaya supaya tidak terjebak pada pop culture yang kerap masuk sekarang.
Pemprov DKI jangan berfikir hanya profit oriented. APBD DKI itu besar sekali, PAD juga besar sekali. Kalau mau membuat hotel bisa di mana saja, asalkan jangan di Taman Ismail Marzuki. Demikian kata Dede Yusuf.
“Jadi Taman Ismail Marzuki itu, saat kita masuk ke sana, itu membawa nuansa kesenian dan kebudayaan. Dibangun tempatnya, saya setuju. Tapi membangun hotel menjadi area komersil, saya tidak suka. Karena itu sama saja membuka siapapun bisa masuk ke sana tanpa ada nilai-nilai kesenian dan kebudayaan,” tegas Dede Yusuf.
Jadi menurutnya, TIM harus tetap pada tempatnya semula. Justru kalau perlu mesti diperbaiki, bukannya malah dibangun hotel dan sebagainya menjadi lahan komersil.
TIM hrs tetap ada tempatnya hrs di perbaiki tetapi kalau dibangun hotel menjadi area komersial kok bagi saya ngga srek. Untuk itu kita panggil gubernur DKi, DPRD dan Jakpro kita tanya masalah dan kita minta di moratorium,
“Jadi, Pak Ketua, saya pikir ini penting kita mendengar dari dua sisi. Kita panggil Gubernur DKI Jakarta, DPRD DKI, Jakpro, kita tanya dan debatkan masalah hukum dan legalitasnya. Kita minta agar ini dimoratorium sampai para seniman dan budayawan diajak bicara dulu. Jadi kalau bicara ke depan TIM akan menjadi seperti apa, itu adalah atas kesepakatan bersama,” tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rano Karno akhirnya mempertanyakan kenapa sampai harus Taman Ismail Marzuki (TIM) dikomersilkan dengan revitalisasi. Apa urgensinya.
Kepada wartawan, Rano Karno menyoroti sebenarnya bukan komersialisasinya, akan tetapi untuk apa sebenarnya revitalisasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta bersama PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
“Fungsi DPR membuka kanal-kanal yang macet, karena memang kalau susah lebih baik TIM milik negara saja. Itu harapannya supaya tidak ada benturan. Kita akan jadwalkan kapan akan sidak ke TIM,” ujar Rano Karno kepada RRI PRO3
Jika menjadi milik negara, menurut Rano, tidak akan terbentur regulasi-regulasi atau aturan yang tidak bisa dilangkahi nantinya. Hari ini konsinyering dan langkah berikutnya akan ditentukan langkah-langkahnya.
Rano mempertanyakan, revitalisasi memang sejak awal disetujui, dan itu diakui. Akan tetapi baik dari Jakpro maupun Pemprov DKI Jakarta sudah mempersiapkan desainnya.
“Cuma sekarang bukan itu yang dipakai desainnya. Jadi ini ada apa sebenarnya sih? Apalagi dengan pengelolaan 28 tahun itu artinya BOT (Build Operate Transfer),” kata dia.
Sebagai informasi, BOT dapat dijelaskan sebagai salah satu pilihan pembiayaan proyek pembangunan dengan investor (dalam kasus TIM adalah Jakpro) harus menyediakan sendiri modal atau pendanaan untuk proyek, termasuk menanggung pengadaan material, peralatan dan jasa lainnya yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek.
Untuk itu, nantinya investor memiliki hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonomi pembangunan proyek tersebut (manajemen dan operasional) sebagai penggantian dari seluruh biaya yang telah dikeluarkan dengan jangka waktu tertentu (umumnya 25 tahun atau lebih). Dengan ini investor dapat mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dan mendapatkan keuntungan dengan konsep BOT ini. Setelah lewat waktu, seluruh bangunan dan kepemilikannya, sesuai dengan perjanjian BOT akan beralih menjadi milik yang menyediakan tanah (dalam kasus TIM adalah Pemprov DKI Jakarta).
“Apalagi dengan pengelolaan 28 tahun itu artinya (revitalisasi TIM) adalah BOT. Anggarannya bukan dari APBD, karena setelah 30 tahun itu (TIM) kembali jadi milik Pemda. Tapi tadi kan di dalam dengar sendiri, diberikan anggaran Rp 300 miliar. Ada apa ini? Harus dipelajari ini,” tegas Rano. (Foto: Ant/Aprillio Akbar & RRI)